Dilema Iblis dan malaikat
“ Hmm..Bebe Gemini,Berapa harganya Dit, sekarang? “, Tanyaku pada Adit, temanku.
“ Yah…2,4 jutalah. Kenapa? “, balasnya.
Pertanyaan itu seakan melambung di udara dan meledak di kepalaku dan entah mengapa aku menjadi ingin memiliki si Bebe, Blackberryphone yang kini marak dipergunakan oleh orang-orang menengah ke atas.
Seketika itu juga, aku memeriksa handphoneku yang ada didalam tas. Aku memeriksa berberapa sms yang masuk ke inbox dan sambil mengamati handphone E-63ku.
“ Akh, ini saja sudah seperti Bebe “, kataku dalam hati.
Bel tanda pulang sekolah pun berbunyi. Semua teman-temanku hendak merapikan buku-buku dan aku sudah merapikan tasku dan langsung meninggalkan kelas. Tiba-tiba aku mendapat sms dari adikku.
Pengirim :-meimei - 13.50-
Wehhh…Gue ada pembinaan Krisma.
Lu pulang ajah dulu
Setelah membaca sms itu, Aku pun memutuskan untuk pulang jalan kaki ke rumah. Setiap derap langkahku, aku melantunkan beberapa lagu favoritku dan sambil memikirkan rencana untuk tiga jam ke depan. Entah mengapa ada sesuatu yang membuatku begitu ringan ketika pulang sekolah, meskipun siang itu begitu panas.
“ Dek, tunggu sebentar ! “, teriak seorang tak dikenal.
Mendengar suara itu, aku terus berjalan melewati rel kereta api dibawah jembatan layang. Tiba—tiba seorang yang asing itu mendekatiku dan aku merasa ada sesuatu yang ganjil dihadapanku.
“ Dek, tunggu sebentar. Adek sekolah dimana? “, Tanyanya padaku. Secepat kilat aku berpikir tentang apa yang ada dihadapanku. Aku harus tetap berpikiran positif.
“ Oh iya. Ada apa ya mas? “
“ Begini dek, adik saya kemaren dipukulin sama anak SMA. Sekarang saya lagi nyari orang yang mukulin adek saya. “, jawab orang itu sambil menjelaskan maksudnya.
“ Loh, lalu apa hubunganya dengan saya? Saya tidak kenal adeknya mas. “,tanyaku dengan kebingungan yang meliputi seluruh pikiranku. Seketika perasaan di dalam hati mulai cemas dan berangsur tidak tahu apa-apa lagi. Aku hanya mengikuti pembicaraan itu dengan keadaan yang penuh pertanyaan.
“ Kamu ikut saya dulu, untuk membuktikan bahwa bukan kamu yang memukul adik saya. Kalau kamu menolak, saya malah curiga, jangan-jangan kamu yang mukul adek saya. “, kata orang asing itu seperti mengancam dengan halus. Dilema mulai menyerang diriku.
“ Tapi saya sudah harus pulang. Papa saya sudah nunggu di rumah. Saya tidak ada waktu. “, jawabku. Orang asing itu tampak begitu memaksa dan aku pun mengikutinya menuju ke pemukiman kumuh di dekat rel kereta api.
“ Dek, saya pinjem handphonenya dulu, untuk memastikan nomor yang memukul itu benar atau tidak, sama foto kamu deh yang ada di dalam hape.”, pinta orang asing itu.
“ Akh jangan mas, kalau handphone saya kenapa-kenapa, mas mau tanggung jawab ? “
“ Yah, hape adek gak bakal kenapa-kenapa, percaya deh sama saya, hanya 3 menit, Saya Rudi.”
Perasaanku semakin tidak enak dan terlalu banyak yang mengusik pikiranku. Aku berusaha untuk mengulur waktu lebih lama. Kuserahkan Handphoneku yang kuambil dari saku celana abu-abuku dan aku hanya termenung melihat orang itu membawa handphoneku menuju ujung gang yang sempit dan disinari sedikit cahaya matahari.
Kruuudukkk !! Tiba-tiba aku tersentak oleh suara batu yang jatuh dari atas genteng rumah orang di pemukiman itu. Aku melihat orang itu tiba-tiba berlari ketika sampai di ujung gang dan aku pun berlari mengejar orang asing itu . bibirku seperti membeku, seakan membekukan seluruh mulutku untuk berteriak, aku tidak dapat berteriak. Orang itu menghilang di balik gang yang ukurannya lebih sempit. raiblah hanphoneku.
“ Apa yang harus kukatakan sama mama yah? “,sejenak berpikir dan berbicara dalam hati. Beberapa menit kemudian, aku pun memutuskan untuk pulang ke rumah. Sesampai di rumah, aku dicaci maki oleh ibuku dan seketika sore itu seakan dipenuhi oleh lontaran-lontaran kalimat yang menusukku. Aku terus bergumul ketika malam tiba.
“ Yah sudahlah, untuk apa menuntut lagi, gak ada gunanya memukul orang itu untu mendpatkan hapeku lagi, Tuhan ngak ngajarin buat ngelakuin kekerasan.”, gumamku
“ ampuni ajah lah. “
Keesokan harinya, aku terpikirkan untuk membawa pistol mainan dari besi dan pistol ini tampak seperti sungguhan.
“ Pokoknya, kalau sampai ketemu tuh orang, gue hajar, gue todong pake nih pistol ! “, kataku dengan geram ketika perjalan pulang ke rumah. Dihari kedua, aku tidak bertemu dengan orang asing itu didaerah dekat kejadian satu hari yang lalu.
Keesokan harinya, aku memutuskan untuk tetap membawa pistol dan siap untuk menghajar orang itu. Tidak disangka, aku melihat orang asing itu lagi, namun ia tidak dapat mengenaliku, karena hari sudah sangat gelap dan aku mengenakan jaket. Aku sudah siap untuk menghajar dan sambil berjalan aku mengeluarkan pistol dari tasku. Seluruh darah dalam tubuhku terasa memuncak dan seakan semua siap untuk keluar. Aku sudah berjalan mendekatinya, jarakku dengannya sekarang jauh lebih dekat. Aku berpapasan dengannya dan aku berjalan pulang ke rumah.
Stephen Chew
XII IPA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar